“Presiden tetap bersikeras untuk tidak mau membubarkan PKI, sebagaimana
yang dituntut mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno memilih sikap keras
kepala….”.
“Maka pada saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, 24
Pebruari, mahasiswa di Jakarta turun ke jalan….. Pada hari itu, barisan
demonstran mahasiswa berhasil menembus pagar betis penjagaan tentara hingga ke
depan pintu Istana Negara dan berhadapan langsung dengan Pasukan Cakrabirawa.
Di situlah terjadi penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan
menyebabkan gugurnya Arief Rahman Hakim serta menyebabkan luka berat seorang
anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah. Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal
beberapa waktu kemudian…”.
CATATAN
Jenderal AH Nasution tentang Barisan Soekarno ini menarik untuk dipinjam di
sini, terutama karena memiliki nuansa penilaian yang berbeda. Apakah tindakan
Amirmahmud saat itu masih termasuk tindakan taktis, ataukah murni akrobatik
politik? Kalau ternyata Amirmahmud melakukannya dengan kesepakatan para
pimpinan Angkatan Darat, apakah itu sekaligus menunjukkan bahwa para jenderal
memang telah melakukan akrobatik politik, mengutamakan permainan dan tak segan
menempatkan mahasiswa sekalipun dalam posisi pion yang sewaktu-waktu bisa saja
dikorbankan untuk meraih kemenangan? Apalagi, dalam persepsi tokoh kesatuan
aksi, RAF Mully, Angkatan Darat memang hanya menempatkan mahasiswa dalam posisi
untuk dimanfaatkan.
Tidak
sepenuhnya Angkatan Darat bisa diharapkan sebagai pelindung bagi mahasiswa.
Adalah suatu fakta di lapangan, bahwa pasukan-pasukan Kodam Jaya kala itu tak
selalu menunjukkan sikap bersahabat dengan para mahasiswa. Adakalanya mereka
begitu garang dalam menghadapi demonstrasi mahasiswa. Ini berbeda dengan
pasukan-pasukan yang ada di bawah garis komando Mayjen Kemal Idris yang
menggantikan Soeharto sebagai Panglima Kostrad, atau pasukan-pasukan RPKAD, yang
oleh para mahasiswa bisa dirasakan memiliki sikap melindungi, setidaknya tak
bermusuhan.
Adanya
dua jenis perilaku tentara ini sangat terasa oleh kelompok mahasiswa. Bila
sikap tidak bersahabat itu ditunjukkan oleh kalangan militer yang dekat dengan
Soekarno, tentu tidak mengherankan. Tetapi bagaimana kalau kasat mata ia
memiliki kedekatan dengan Soeharto, tetapi ketika berhadapan dengan mahasiswa
menunjukkan permusuhan ? Tak lain hal itu berarti, sejak mula Soeharto pun
sudah mulai memelihara sejumlah perwira berperilaku otoriter di dekatnya.
Dengan demikian, sikap berbeda-beda di kalangan tentara bukanlah semata-mata
soal pro atau kontra Soekarno.
Jenderal
Abdul Harris Nasution menggambarkan Barisan Soekarno mulai menjadi kenyataan
fisik. Tokoh-tokoh politik, mahasiswa dan militer tertentu terus dipanggil ke
istana dan bekerja untuk itu. Waperdam III Chairul Saleh yang telah ditugaskan
memimpin Barisan Soekarno menunjuk Kolonel Sjafei yang dikenal sebagai raja
para copet Jakarta sebagai Komandan. Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang,
Surabaya, Medan dan kota-kota lain sampai hangat demonstrasi kontra demonstrasi
dan terjadi bentrokan-bentrokan fisik. Bahkan Soeharto, tutur Nasution,
menampung persoalan gerakan baru ini berupa perlombaan atau jor-joran
menyatakan setia kepada Presiden, dengan menginstruksikan appel-appel kesetiaan,
melalui Pengumuman O1/Koti/1966.
Panglima
Kodam Jaya Jenderal Amirmahmud melakukannya secara besar-besaran, 120 utusan
parpol dan ormas Jakarta bersama panglima menyampaikan kesetiaan kepada
Presiden. Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie menyatakan bahwa Sam
Karya yang diterima Siliwangi adalah identik dengan Soekarno dan dibela oleh
Siliwangi. Bung Karno telah dimasukkan dalam catur laksana Korps Siliwangi.
Tapi,
fakta yang paling tak dapat diabaikan, seperti juga dikatakan Nasution, adalah
bahwa para Panglima di Jawa dewasa itu, di Jakarta, Bandung, Semarang dan
Surabaya, meskipun dikenal sebagai orang-orang yang anti PKI, tetapi juga
secara pribadi kuat mendukung Soekarno. Bagaimanapun, isu pembentukan Barisan
Soekarno telah menimbulkan pelbagai tanggapan, yang satu sama lain berbeda dan
dapat membingungkan. Panglima Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie, meskipun seorang
pendukung kuat Soekarno, melarang Barisan Soekarno di wilayah hukumnya.
Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud, selaku Pepelrada, mengeluarkan
instruksi yang mengatur penyaluran pembentukan Barisan Soekarno di wilayahnya.
Sementara itu, Panglima Komando Wilayah Sumatera Jenderal Mokoginta dengan
tegas menyatakan Barisan Soekarno sebagai kontra revolusi.
Waperdam
I Soebandrio melihat Barisan Soekarno sebagai alat pertarungan untuk
mempertahankan kekuasaan Soekarno, sehingga ia menekankan aspek fisik. Dalam
suasana yang menghangat, 15 Pebruari 1966, Presiden Soekarno didampingi
Waperdam I Soebandrio mengadakan pertemuan terbatas dengan pimpinan GMNI-Asu,
Germindo, Presidium MMI dan Dewan Mahasiswa Universitas Bung Karno, di Istana
Merdeka. Pada forum tersebut Dr Soebandrio kembali menyerukan pembentukan
Barisan Soekarno, sebagai suatu barisan berbentuk fisik, memenuhi seruan
Soekarno sendiri pada 15 Januari yang menginginkan penyusunan barisan pendukung
yang berdiri di belakangnya. Bentuklah Barisan Soekarno sekarang juga, ujar
Soebandrio. Setiap organisasi mahasiswa yang hadir dimintanya untuk turut
membentuk Barisan Soekarno itu, biar cuma seratus orang, tak apa, asal ulet.
Barisan
dalam bentuk fisik ini terbukti kemudian di beberapa daerah memang dimaknai
dalam artian fisik yang sesungguhnya dan kesiapan bertarung untuk membela
Soekarno. Hingga beberapa bulan, pemaknaan yang demikian terus berlangsung.
Pada 19 Agustus 1966, ketika mahasiswa Bandung makin gencar melakukan
gerakan-gerakan anti Soekarno, Barisan Soekarno menyerbu Konsulat KAMI Bandung
di Jalan Lembong. Dalam Peristiwa 19 Agustus 1966 tersebut jatuh korban jiwa,
Julius Usman, mahasiswa Universitas Parahyangan. Ia tewas di depan kampusnya
Jalan Merdeka, tak jauh dari Jalan Lembong.
Setelah
terjadinya serangkaian bentrokan fisik antara mahasiswa anggota KAMI dengan
massa Front Marhaenis sayap Ali-Surachman pada akhir Pebruari hingga awal
Maret, Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud melontarkan gagasan ‗jalan
tengah‘ Persatuan Nasional Mahasiswa Indonesia, 7 Maret. Gagasan ini sebenarnya
berasal dari ide pembentukan National Union of Student (NUS) yang
dilontarkan sebelumnya oleh Soekarno 14 Januari setelah mendengarkan saran dan
laporan Wakil Panglima Besar Komando Ganyang Malaysia (Wapangsar Kogam) bidang
Sosial Politik, Ruslan Abdulgani.
Ketika
gagasan NUS itu untuk pertama kali dilontarkan oleh Soekarno dan Ruslan, muncul
penolakan yang keras dari mahasiswa Bandung dalam sebuah pernyataan 2 Pebruari
1966. Mahasiswa Bandung mencurigai pembentukan NUS tersebut, yang dilontarkan
justru bertepatan dengan saat PKI dan simpatisannya mulai dibersihkan dari
kabinet dan berbagai lembaga negara. Mahasiswa Bandung curiga bahwa pembentukan
NUS dimaksudkan untuk mendegradasi setahap demi setahap KAMI, sambil memasukkan
unsur-unsur Front Marhaenis Ali Surachman ke dalam tubuh kemahasiswaan, yang
tentu saja berbahaya terhadap upaya pembubaran PKI. Front Marhaenis per saat
itu dalam anggapan mahasiswa-mahasiswa Bandung tersebut adalah partner terdekat
PKI di zaman pra G30S.
Dalam
suatu demonstrasi dan aksi corat-coret yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa di
Bogor, kediaman Nyonya Hartini Soekarno, kebagian coretan Gerwani Agung.
Julukan Gerwani Agung‘ yang ditujukan kepada Hartini ini membuat Soekarno amat
marah. Di Bandung pada waktu yang hampir bersamaan, mulai bermunculan coretan
yang ditujukan langsung kepada Soekarno, seperti tulisan Soekarno, No serta
berbagai serangan lain yang menunjukkan bahwa mahasiswa tak lagi menginginkan
Soekarno sebagai pemimpin negara. Gedung MPRS, Gedung Merdeka di Jalan Asia
Afrika Bandung diserbu dan dicoreti mahasiswa dengan tulisan Gedung Komidi
Stambul.
Dalam
nyanyian-nyanyiannya mahasiswa menyindir MPRS…. Yes, yes, yes yang menggambarkan
betapa lembaga tertinggi perwakilan rakyat itu berisi dengan orang-orang yang
hanya bisa mengatakan yes kepada Soekarno. Soekarno yang marah, bersama
Soebandrio, melontarkan tuduhan bahwa aksi-aksi mahasiswa itu ditunggangi oleh
Nekolim. Tetapi berbeda dengan masa pra G30S, pada saat itu tudingan semacam
itu telah hilang keampuhannya dan tidak lagi membuat gentar mereka yang
dituding.
Presiden tetap bersikeras untuk tidak mau
membubarkan PKI, sebagaimana yang dituntut mahasiswa dalam Tura ketiga. Soekarno
memilih sikap keras kepala dan bukannya membersihkan kabinetnya dari
unsur-unsur Kom, malah dalam reshuffle kabinet 24 Pebruari ia memasukkan
sejumlah tokoh yang dianggap sebagai simpatisan PKI seperti Oei Tjoe Tat SH
dari Baperki. Maka pada saat pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, 24
Pebruari, mahasiswa di Jakarta turun ke jalan melakukan aksi memacetkan lalu
lintas. Mobil-mobil dikempeskan bannya sehingga menteri-menteri yang akan
dilantik terhambat ke istana. Pada hari itu, barisan demonstran mahasiswa
berhasil menembus pagar betis penjagaan tentara hingga ke depan pintu Istana
Negara dan berhadapan langsung dengan Pasukan Cakrabirawa.
Di situlah terjadi penembakan oleh
Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan menyebabkan gugurnya Arief Rahman
Hakim serta menyebabkan luka berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah.
Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal beberapa waktu kemudian dan jenazahnya
dikirim kepada orangtuanya di Bandung. Dalam insiden sehari sebelumnya, telah
pula jatuh korban 9 mahasiswa yang menderita luka berat karena peluru pasukan
Cakrabirawa.
No comments:
Post a Comment